Tiga hari yang lalu saya menonton film, film Indonesia. Film
yang diangkat dari salah satu karya tulis,
Sebut saja Dewi Lestari (red Dee).
Judul filmnya “Filosofi Kopi”, barang kali ini merupan film ke-empat
yang diangkat dari karya tulis Dee setelah yang terakhir Supernova Series 1.
Banyak hal yang special dari Filosofi Kopi. Saya seakan
dibawa kedalam satu pentas maestro perkopian.
Saya orang yang tidak tahu menau tentang kopi, saya tidak tahu bagaimana menghasilkan segelas kopi yang bisa membuat penikmatnya merasakan tenang setelah meneguknya, saya sama seperti anda. Hal yang special diantaranya adalah ketika setelah menonton film ini saya merasakan satu dorongan yang nyata di dalam jiwa saya, minup kopi. Yah benar sekali, minum kopi.
Saya orang yang tidak tahu menau tentang kopi, saya tidak tahu bagaimana menghasilkan segelas kopi yang bisa membuat penikmatnya merasakan tenang setelah meneguknya, saya sama seperti anda. Hal yang special diantaranya adalah ketika setelah menonton film ini saya merasakan satu dorongan yang nyata di dalam jiwa saya, minup kopi. Yah benar sekali, minum kopi.
Saya bingung ketika saya harus meracik kopi saya sendiri.
Saya merupakan seorang konsumen, saya terbiasa dengan hal-hal yang siap pakai,
saya terbiasa meneguk segelas kopi yang siap seduh, tanpa perduli jenis kopi
apa yang akan saya minum.
Tidak ada yang istimewa dari kopi yang saya buat sore itu,
kopi nya bisa dibilang pahit, serbuknya bercampur dengan air dan itu tidak enak
sama sekali. Berpikir sejenak akan kegagalan membuat kopi pada sore itu. Saya
baru menyadari kalau saya tidak mencampurkan gula dan tidak meyaringnya pada
saat membuatnya.
Saya sebenarnya seseorang yang kagum akan karya Dee. Saya
terlebih dahulu membaca cerita “Filosopi Kopi” daripada menonton filmya. Ada
satu ketakutan yang menghampiri saya ketika karya tulis Dee diangkat menjadi
suatu film dan sejenis-nya. Saya takut semuanya berubah, saya takut imajinasi
akan tokoh tokoh pada bukunya akan berubah, ketakutan saya ini bukan tanpa alasan,
saya merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang kecewa ketika menonton
Supernova : Ksatria Putri dan Bintang jatuh.
Pada percobaan kedua,kopi yang saya buat berhasil, saya rasa
ini berkat belajar dari masa lalu. Saya seakan merasa diri saya adalah tokoh
Ben pada Fil-Kop ketika membuat kopi pada malam itu. Dari film tersebut saya
baru mengetahui kalau ada baiknya sebelum meminum kopi kita harus menghirup
aroma kopinya terlebih dahulu, dan itu saya lakukan, singkat cerita kopi saya
ludes, saya belum menemukan efek apapun pada malam itu.
“Kopi tidak sama dengan air tebu, semanis apapun kopi ia
pasti mempunyai sisi pahit yang tak bisa ia sembunyikan”, mungkin begitulah
salah satu dialog yang di ucapkan ben pada film Fil-Kop. Saya sebenarnya sudah
tahu terlebih dahulu ketika membaca bukunya.
Sejujurnya saya merasa puas akan Fil-Kop ini. ini lebih baik
dari supernova, berkat film ini uga saya sekarang rajin membuat kopi, minimal
meminumnya 1 hari sekali..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar