IPA
3 MENANGIS.
Tak pernah sebelumnya ku melihat wanita paruh
baya itu menangis sederas itu di hadapan 48 pasang mata. Ialah wanita yang
menjadi wali kelas kami, buk HK nama panggilannya. Tangisnya semakin deras
ketika dia berkata “Sudah puluhan tahun saya mengajar, baru kali ini saya
menangis di hadapan anak murid saya, jahat kalian”.
CERITA DIMULAI
Tak ada tanda-tanda akan turun hujan di pagi
yang cerah ini, panas terik matahari mulai merasuki seisi alam semesta, tak
terkecuali sekolahku tercinta. “Penghormatan kepada pemimpin Upacara” terdengar
suara dari loudspeaker yang
tergantung di dinding kelas, bertanda upacara pagi bendera telah dimulai.
Seperti anak-anak murid biasanya, upacara senin adalah hal yang sangat
membosannkan untuk dilaksanakan. Selang 30 menit berdiri di tengah terik
matahari upacara-pun selesai, “upacara selesai, barisan di bubarkan” bertanda
upacara telai berakhir.
Bel pergantian pelajaran telah berbunyai,
tandanya untuk memasukan buku Kimia kedalam tas, dan mengeluarkan buku Fisika
dari dalam tas. Siall, baru jam Sembilan mataku sudah ngantuk, kuputuskan untuk
mencuci mukak di wastafel depan kelas, namun niat itu langsung ku urangkan
ketiaka melihat sesosok wanita yang muncul dari lorong pintu dan dengan
seketika berjalan kearah meja guru dengan membawa rol yang panjang dan terbuat
dari kayu. Wanita yang kini sudah duduk di bangku yang telah disediakan,
melihat kumpulan kertas yang ia bawa, kumpulan kertas yang bisa kutebak bahwa
itu adalah hasil ujian kelas XI-IPA6, “Kita ujian kan?” wanita itu melihat
keseluruh penjuru kelas. “Rabu buk tapi ibuk bilang” kompak sekelas berkata
seperi itu, “oh yasudah, ini kita kalian catat dulu soal ini ya” wanita itu
mulai memilih spidol yang ia gunakan.
Ia pun mulai menuliskan soal yang akan kami
selesaikan, aku yang pada saat itu memang sedang ngantuk tak langsung menulis
soal yang baru dituliskan sampai dengan nomor 1. Soal yang wanita itu tuliskan
hampir sama dengan soal minggu lalu, begitupun aku gelagapan kalau di suruh
mengerjakannya. Kini sampailah wanita itu menuliskan soal no2, aku yang pada
saat itu sudah mulai bangkit dari rasa kantukku. Di sinilah muncul masalahnya.
Tangan wanita itu tak lagi menari-nari di
atas papan tulis, ia melihat kearah ku, “siapa yang melempar karet ke saya?”
Tanya, ibuk itu. “karet- karet yang mana?” bisik seluruh siswa tak terkecuali
aku. “Ngaku siapa yang ngelempar, atau ini ibuk perpanjang”ancam wanita itu
yang kini telah memegang karet di tangan kanan-nya. Tak ada satu murid yang
mengaku. Ia kembali meneruskan soal yang ia tulis, kini telah sampai ke nomor
yang terakhir, 3.
Benar, ia tak bermain-main dengan apa yang
di bicarakannya. Ia pergi keluar kelas, hingga kini tak terlihat lagi sosok
wanita itu. Suasana kelas bergemuruh, terdengar sorak-sorak suara “Siapa we??
Ngakulah we”. Tak ada satupun murid yang mengaku, suasana kelas semakin genting
ketika masuknya sang wali kelas,-buk H.K.
“Ada saja masalah yang kalian buat” lontar
buk HK dengan nada tinggi. Terlihat dari wajahnya sedang menahan emosi yang
meledak-ledak. Semua anak urid diam. Terlihat juga Bpk, Asman Situmorang selaku
guru Bp kami telah berdiri di depan pintu dengan muka yang sinis. Buk HK
melihat keseluruh penjuru kelas, melihat betapa tak berpendidikan anak murid
yang melakukan hal itu. “Ini karet siapa yang melakukannya?”Tanya buk HK
lancing, lagi, kami hanya bisa diam. “Saya hitung sampai 10, kalau tidak ada
yang mengaku lihat saja nanti”ia mulai menghitung “1.2.3.4. ngakulah nak,
ngaku.------5.6.7.8.9. sudah Sembilan tidak ada yang mau ngaku?—10”hitungan
kesepuluh telah di ucapkan, tetapi tak ada seorangpun yang mengakuin
kesalahan-nya.
Ia semakin murka melihat kelakuan
murid-muridnya yang tak ada mau mengakui kesalahannya. “Perangkat kelas beserta
wakilnya, maju kedepan” perintah sang wali kelas, mereka telah berdiri di
depan, dan mulai di tanyai siapa yang mengetahui tersangka di dalam kasus ini.
Terlihat dari kejauhan mereka membuat gumpukkan kecil di ujung kelas, seperti
membincangkan sesuatu. Selang beberapa menit, perbincangan mereka tidak
membuahkan hasil sama sekali.
“Ya tuhan, tega sekali kalian nak. Asal
kalian tau laptop saya masih dalam keadaan on, meja saya berserakan, tas saya
dalam keadaan terbuka,” pekik buk haka dari depan kelas, “Semoga tuhan masih
menjaganya” lanjut sang wali kelas.
“Nnnnggggguuuuuunngggggguuuu”bel tanda
istirahat berbunyi. Kami tak diperbolehkan keluar,karena masih belum ketemu
juga titik terang masalah ini. Lagi dan lagi buk Hk meminta untuk mengaku siapa
yang melakukan hal tak berpendidikan tersebut.
Banyak dari Etman-teman kelas yang mencurigai
“Galih”-lah yang menjadi tersangka di dalam kasus ini. Namun dengan keras
batinku membantak prasangka mereka. Karena pada saat itu aku sedang bercanda
dengan dirinya, dan dia tidak memegang karet pada saat itu.
Waktu terus berjalan, mata kami semua
tertuju kedepan “Saya akan stay disini sampai ketemu siapa pelakunya” terdengar
suara dari depan kelas. Suasana yang sebelumnya hening kini pecah ruah, tak
disangka sebelumnya wanita tegar yang berada di depan kami itu menangis dengan
posisi mengepalkan tangannya di meja, dan terlihatjuga di isak tangisnya ia
membuka kaca-mata yang ia gunakan.
“Sudah puluhan tahun saya mengajar, baru kali ini saya menangis di hadapan anak murid saya, jahat kalian”Ucap sang wanita itu di sela tangisnya.
Kami Hanya bisa diam, merenungi kesalahan, dan mencoba menerka-nerka siapa pelaku di balik masalah ini. Rasanya Ingin saja berteriak untuk menyerukan siapa pelakunya.
-=END-=
“Sudah puluhan tahun saya mengajar, baru kali ini saya menangis di hadapan anak murid saya, jahat kalian”Ucap sang wanita itu di sela tangisnya.
Kami Hanya bisa diam, merenungi kesalahan, dan mencoba menerka-nerka siapa pelaku di balik masalah ini. Rasanya Ingin saja berteriak untuk menyerukan siapa pelakunya.
-=END-=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar