Klise Kehidupan
-ZULFI HAFITS.A.P-
-SMAN 13 MEDAN-
-SMAN 13 MEDAN-
“Karena
bukan kau yang merasakannya ranto, kau sanggup pulang tanpa membawa uang untuk
anak istrimu ? apa kau sanggup? Jawab aku!
“A..a..aku tau, tapi lebih baik kau pulang saja, mereka lebih mengiginkan kau pulang dari pada harta yang akan kau beri kepada mereka”
“Mau aku kasi makan apa mereka, jika aku tak bawa pulang uang? Rasa rindu? Makan aja itu rindu”
“A..a..aku tau, tapi lebih baik kau pulang saja, mereka lebih mengiginkan kau pulang dari pada harta yang akan kau beri kepada mereka”
“Mau aku kasi makan apa mereka, jika aku tak bawa pulang uang? Rasa rindu? Makan aja itu rindu”
Lebaran tinggal
menghitung hari saja, namun bagi Hafids, lebaran baginya bak bola penghancur
bagi hidupnya. Bagaimana tidak ia harus pulang kekampung halaman untuk menemui
anak istrinya. Kepergian Hafids keJakarta bukanlah tanpa embel-embel semata. Ia
menetap diJakarta 5 bulan yang lalu, ia pergi sendiri, memberanikan diri. Ia
berjanji kepada sang istri akan pulang kampung ketika lebaran akan datang.
Namun kini pikiran lelaki paruh baya itu tanpa arah, harta yang ia janjikan
kini hanyalah sebatas hiasan bibir saja, ia hampir saja menyerah hidup di kota
sekaliber Jakarta.
“Bang, lebaran pulang ya. Jangan lupa bawak uang yang banyak, rifal butuh biaya besar mau masuk SMP”
Pesan singkat 2 minggu yang lalu masih tersusun rapi didalam otak hafids, berbagai tuntutan yang datang kepadanya. Kembali ia merasa hancur sebagai kepala keluarga. Bukannya ia tak berusaha keras. Ia bekerja sebagai kernet angkot di Jakarta, tujuan kelapa gading – semanggi. Namun, hasil yang ia dapatkan tak sebanding dengaan apa yang ia ekspetasikan.
“Bang, lebaran pulang ya. Jangan lupa bawak uang yang banyak, rifal butuh biaya besar mau masuk SMP”
Pesan singkat 2 minggu yang lalu masih tersusun rapi didalam otak hafids, berbagai tuntutan yang datang kepadanya. Kembali ia merasa hancur sebagai kepala keluarga. Bukannya ia tak berusaha keras. Ia bekerja sebagai kernet angkot di Jakarta, tujuan kelapa gading – semanggi. Namun, hasil yang ia dapatkan tak sebanding dengaan apa yang ia ekspetasikan.
Hujan rintik-rintik
membasahi kota Jakarta malam itu, lampu kerlap-kerlip dipinggiran bangunan tua
peninggalan belanda semakin menambah nilai magis di malam jum’at itu. Hidup
dijakarta ia memahami betapa sulitnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah, ia juga belajar arti kehidupan disini, tak ada
sesuatu yang dimulai dari 10 semua dimulai dari 0.
Ia duduk dipinggiran bangunan tua, ia goyangkan sedikit kakinya, ada sesuatu yang bergetar disaku kiri jeansnya ia masukan tangan kanannya dan satu unit Handphone keluar, ia memandangi layarnya dan memasukan-nya kembali. Ia mengulanginya sekali lagi, tetapi kali ini ia tak memasukan Handphone ya kedalam saku melainkan melemparkannya ke aspal, hingga baterai hanphone tersebut lepas dari tempatnya.
Ia duduk dipinggiran bangunan tua, ia goyangkan sedikit kakinya, ada sesuatu yang bergetar disaku kiri jeansnya ia masukan tangan kanannya dan satu unit Handphone keluar, ia memandangi layarnya dan memasukan-nya kembali. Ia mengulanginya sekali lagi, tetapi kali ini ia tak memasukan Handphone ya kedalam saku melainkan melemparkannya ke aspal, hingga baterai hanphone tersebut lepas dari tempatnya.
Dibenaknya sekaranag
hanyalah ingin pulang, pulang kekampung halamannya. Air matanya keluar, membasahi pipinya, dan
semakin deras. Tapi ada satu kebuntuan yang tak bisa ia pecahkan, bagaimana
membawa pulang banyak uang, tak ada yang lain. Ia bejalan, menyusuri dinginnya
malam , langah kaki kecil-kecil sampai ketempat naungan terakhir malam itu.
Niat membeli sarapan
malah mejadi petaka bagi hana, bagaimana tidak dompet hana yang tadinya tertata rapi didalam keranjang belanjanya kini
telah raib. Hafids-lah pelakunya. Ia lari sekencang mungkin, sampai akhirnya
masuk kekamarnya, lalu ia buka dompet itu lalu menghitung rupiah yang ia
dapatkan. Tak tanggung tanggung, 8 juta rupiah telah ia genggam sekarang,
bebabanya telah berkurang dan besok ia akan pulang kekampung halaman menjenguk
isteri tercinta.
Ia telah menyusun pakaian
beserta uang jutaan. Didalam wajahnya terlihat senyum simpul, senyum
kemenangan. Ia sudah tak sabar melihat isterinya. Dengan langkah pasti ia
keluar dari persembunyiannya dan mulai berjalan menuju stasiun gambir, station
central Bus. Ia masuk kedalam bus dang mengambil posisi sebelah jendela, bus
mulai berangkat dan ia tertidur pulas. Tiga jam di dalam bus telah berlalu. Bus
berhenti di terminal lubang buaya. Iapun turun dari dalam bus.
Ia kembali tersenyum, tas
berisi uang telah ia rangkul sekarang, ia
berjalan, terus berjalan. Langkahnya di percepat ketika ia telah berada
dibalai kampung halamannya, ia sempat meneteskan air mata ia tak percaya bisa
kembali ke tanah tercinta. Ia berlari lari kecil untuk mempercepat dirinya
sampai kerumahnya.
Ia kebingungan, tanpa
arah, ia sesekali menggarukan kepalanya, ia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa
rumahnya tak ada, rumah yang menjadi temapat naungannya bersama sang istri
telah hilang, hanya ada puing-puing sisa bakaran kayu yang berserakan di tanah.
Ia semakin bertanya-tanya dalam hatinya. Ia bertanya kepada Inem, tetangganya.
Ia terkejut mendapatkan kabar bahwa rumahnya hangus terbakar bersama sang
isteri dan anak lelakinya. Ia lemas, namun masih sanggup berdiri.
Ia tak sanggup menahan rasa pilu yang di rasakannya, ia terduduk di atas puing puing abu dan menatap awan yang kekal abadi.
Ia tak sanggup menahan rasa pilu yang di rasakannya, ia terduduk di atas puing puing abu dan menatap awan yang kekal abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar