Kekerasan seksual bisa terjadi
kepada Pria, dan Wanita tanpa memiliki batasan usia, sehingga dengan hadirnya Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (UU-PKS) ini diharapkan seluruh korban tanpa
batasan gender dan usia bisa
mendapatkan perlindungan hukum yang adil. Kekerasan seksual memiliki dampak
yang sangat buruk terhadap kondisi korban, baik fisik maupun mental. Pada Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sekarang sedang
dipelajari di DPR sangat mengedepankan hak-hak korban kekerasan seksual.
Sampai dengan saat ini hukuman yang
didapatkan oleh pelaku kekerasan seksual masih terasa belum begitu jelas,
dengan adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU-PKS) nantinya
akan mengatur dengan jelas hukuman yang didapatkan oleh pelaku tindak kekerasan
seksual seperti, Pidana penjara, rehabilitasi khusus,pencabutan hak profesi,
dan lain sebagainya. Adapun maksud dari “Kekerasan Seksual” dalam Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) diatur pada pasal 1 ayat
1. Adalah “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang,
dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak
seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan
dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender,
yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik,
psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. “
(RUU-PKS 06:2016)
Hadirnya Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) ini seharusnya menjadi kabar baik bagi
seluruh masyarakat di Indonesia, terutama perempuan. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Komnas Perempuan telah terjadi setidaknya 335.062 (Tiga Ratus Tiga
Puluh Lima Ribu Enam Puluh Dua) kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,
angka yang meningkat tajam dari tahun 2016. Dengan jumlah yang begitu banyak, Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (UU-PKS) diharapkan untuk mampu menjadi payung
hukum terhadap korban untuk mendapatkan keadilan yang adil dan jelas di ranah
hukum.
Masih segar di-ingatan kita tentang
kasus Agni, mahasiswi UGM (Universitas Gajah Mada) yang telah diperkosa oleh
teman satu KKN-nya ketika mereka harus terpaksa ditempatkan di satu kamar
bersama, namun pihak kampus seakan menutup-nutupi kasus tersebut, diduga karena
akan berpengaruh terhadap akreditasi dan kredibilitas kampus, sampai dengan saat
ini kasus ini berakhir dengan kata “Damai” . Contoh tersebut merupakan satu
dari banyak kasus yang berakhir dengan cara damai, bahkan tidak sedikit juga
berakhir dengan cara yang lebih tragis, yaitu menikahkan sang pemerkosa dengan
korban yang diperkosa, dengan dalih agar tidak membuat malu nama keluarga.
Bagimana bisa seseorang perempuan dinikahkan dengan seseorang yang telah memperkosa
dirinya. Sebuah tragedi yang patut kita pertanyakan.
Berikutnya, data dari Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) fakultas hukum Universitas Indonesia,
menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 275 pemberitaan mengenai kasus kekerasan
seksual pada bulan Agustus – Oktober 2017, dimana 87 % korbannya adalah
perempuan dan 13% lainnya adalah laki-laki. Berdasarkan data tersebut korban
kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan bisa juga terjadi oleh
laki-laki.
Namun Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (UU-PKS) ini tidak serta-merta di sambut bahagia oleh
masyarakat Indonesia, tercatat pada tanggal 27 Januari 2019 telah muncul suatu
petisi di situs change.org yang telah mendapat dukungan lebih dari 149.000
tanda tangan dan digagas oleh Maimon Herawati, pada petisi tersebut ia
berasumsi jikalau RUU-PKS merupakan RUU yang pro terhadap perzinahan bahkan
dalam petisinya disebutkan RUU ini nantinya memperbolehkan hubungan sex sesama
jenis, dan yang lebih lucunya sang pembuat petisi (Maimon Herawati) berasumsi
kalau nantinya seorang ibu bisa dijerat hukum kalau memaksa anaknya untuk
menggunakan hijab.
Untuk membantah argumen yang
dipaparkan pada petisi tersebut, perlu diingat bahwa RUU tersebut adalah RUU
tentang “ KEKERASAN SEKSUAL”, sekali lagi “KEKERASAN SEKSUAL”, yang dimana
mengedepankan perlindungan juga keadilan dan menjadi tameng terhadap para
korban kekerasan seksual. Tidak ada satu pasal ataupun ayat dari RUU tersebut
yang mempersilahkan seseorang melakukan hubungan seksual diluar nikah, dan sama
sekali tidak membahas tentang seks komunitas LGBT, apalagi dikaitkan tentang
pemaksaan penggunaan hijab. Mohon untuk saudara Maimon H. Dan lebih dari
149.000 manusia yang menandatangani petisi tersebut untuk membaca tulisan
singkat saya ini.
Sangat disayangkan dizaman yang
segala sesuatu mudah untuk diakses, termasuk isi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU-PKS) secara keseluruhan, malah banyak orang-orang yang
merasa malas untuk mempelajari sesuatu, dan dengan mudahnya merasa terpancing
hanya dengan informasi “Broadcast” dari sosial media, dan kutipan-kutipan tak jelas
tanpa sumber terhadap topik yang sedang trending,
untuk sekedar tambahan RUU ini terdapat 184 pasal didalamnya, dan draftnya berjumlah 57 halaman.
Oh iya ada sedikit tambahan, pada
petisi tersebut di tuliskan “ Ada kekosongan yang sengaja diciptakan supaya
penumpang gelap bisa masuk”, kira-kira penumpang gelapnya siapa ya?. Sangat
ambigu bukan?
Jadi kesimpulan saya pada tulisan
mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS)
adalah untuk menyuarakan rasa simpati dan mendukung RUU ini, karena akan banyak
hal-hal baru yang belum ada di tatanan perundang-undangan di negara kita yang
menyangkut tindak kekerasan seksual akan diatur di Undang-Undang ini, dan
hak-hak para korban akan bisa dipayungi hukum oleh Udang-Undang ini.
----Lampiran----
Untuk membaca serta mengunduh Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), bisa di cek disini.
-Zulfi
h.a.Purba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar