Senin, 17 November 2014

Klise Kehidupan (cerpen)



            Klise Kehidupan
            -ZULFI HAFITS.A.P-
            -SMAN 13 MEDAN-
Karena bukan kau yang merasakannya ranto, kau sanggup pulang tanpa membawa uang untuk anak istrimu ? apa kau sanggup? Jawab aku!
“A..a..aku tau, tapi lebih baik kau pulang saja, mereka lebih mengiginkan kau pulang dari pada harta yang akan kau beri kepada mereka”

“Mau aku kasi makan apa mereka, jika aku tak bawa pulang uang? Rasa rindu? Makan aja itu rindu”
   Lebaran tinggal menghitung hari saja, namun bagi Hafids, lebaran baginya bak bola penghancur bagi hidupnya. Bagaimana tidak ia harus pulang kekampung halaman untuk menemui anak istrinya. Kepergian Hafids keJakarta bukanlah tanpa embel-embel semata. Ia menetap diJakarta 5 bulan yang lalu, ia pergi sendiri, memberanikan diri. Ia berjanji kepada sang istri akan pulang kampung ketika lebaran akan datang. Namun kini pikiran lelaki paruh baya itu tanpa arah, harta yang ia janjikan kini hanyalah sebatas hiasan bibir saja, ia hampir saja menyerah hidup di kota sekaliber Jakarta.

“Bang, lebaran pulang ya. Jangan lupa bawak uang yang banyak, rifal butuh biaya besar mau masuk SMP”

  Pesan singkat 2 minggu yang lalu masih tersusun rapi didalam otak hafids, berbagai tuntutan yang datang kepadanya. Kembali ia merasa hancur sebagai kepala keluarga. Bukannya ia tak berusaha keras. Ia bekerja sebagai kernet angkot di Jakarta, tujuan kelapa gading – semanggi. Namun, hasil yang ia dapatkan tak sebanding dengaan apa yang ia ekspetasikan.
   Hujan rintik-rintik membasahi kota Jakarta malam itu, lampu kerlap-kerlip dipinggiran bangunan tua peninggalan belanda semakin menambah nilai magis di malam jum’at itu. Hidup dijakarta ia memahami betapa sulitnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah, ia  juga belajar arti kehidupan disini, tak ada sesuatu yang dimulai dari 10 semua dimulai dari 0.
Ia duduk dipinggiran bangunan tua, ia goyangkan sedikit kakinya, ada sesuatu yang bergetar disaku kiri jeansnya ia masukan tangan kanannya dan satu unit Handphone keluar, ia memandangi layarnya dan memasukan-nya kembali. Ia mengulanginya sekali lagi, tetapi kali ini ia tak memasukan Handphone ya kedalam  saku melainkan melemparkannya ke aspal, hingga baterai hanphone tersebut lepas dari tempatnya.
    Dibenaknya sekaranag hanyalah ingin pulang, pulang kekampung halamannya.  Air matanya keluar, membasahi pipinya, dan semakin deras. Tapi ada satu kebuntuan yang tak bisa ia pecahkan, bagaimana membawa pulang banyak uang, tak ada yang lain. Ia bejalan, menyusuri dinginnya malam , langah kaki kecil-kecil sampai ketempat naungan terakhir malam itu.
    Niat membeli sarapan malah mejadi petaka bagi hana, bagaimana tidak dompet hana yang tadinya  tertata rapi didalam keranjang belanjanya kini telah raib. Hafids-lah pelakunya. Ia lari sekencang mungkin, sampai akhirnya masuk kekamarnya, lalu ia buka dompet itu lalu menghitung rupiah yang ia dapatkan. Tak tanggung tanggung, 8 juta rupiah telah ia genggam sekarang, bebabanya telah berkurang dan besok ia akan pulang kekampung halaman menjenguk isteri tercinta.
   Ia telah menyusun pakaian beserta uang jutaan. Didalam wajahnya terlihat senyum simpul, senyum kemenangan. Ia sudah tak sabar melihat isterinya. Dengan langkah pasti ia keluar dari persembunyiannya dan mulai berjalan menuju stasiun gambir, station central Bus. Ia masuk kedalam bus dang mengambil posisi sebelah jendela, bus mulai berangkat dan ia tertidur pulas. Tiga jam di dalam bus telah berlalu. Bus berhenti di terminal lubang buaya. Iapun turun dari dalam bus.
   Ia kembali tersenyum, tas berisi uang telah ia rangkul sekarang, ia  berjalan, terus berjalan. Langkahnya di percepat ketika ia telah berada dibalai kampung halamannya, ia sempat meneteskan air mata ia tak percaya bisa kembali ke tanah tercinta. Ia berlari lari kecil untuk mempercepat dirinya sampai kerumahnya.
   Ia kebingungan, tanpa arah, ia sesekali menggarukan kepalanya, ia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa rumahnya tak ada, rumah yang menjadi temapat naungannya bersama sang istri telah hilang, hanya ada puing-puing sisa bakaran kayu yang berserakan di tanah. Ia semakin bertanya-tanya dalam hatinya. Ia bertanya kepada Inem, tetangganya. Ia terkejut mendapatkan kabar bahwa rumahnya hangus terbakar bersama sang isteri dan anak lelakinya. Ia lemas, namun masih sanggup berdiri.
Ia tak sanggup menahan rasa pilu yang di rasakannya, ia terduduk di atas puing puing abu dan menatap awan yang kekal abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paling Banyak di Baca